01 Desember 2009

Menjadi telaga atau Samudra

Di pedalaman hutan yang jauh, ada telaga. Kerimbunan pepohonan memayungi tepiannya dan kerapatan perdu menyembunyikannya. Beberapa ekor rusa merapatkan kaki, beberapa ekor burung mengayam sarang, dan beberapa serangga berimpit-impitan. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa permukaan, dan telaga itu beriak-riak kecil. Terdengar keributan kera atau raungan anjing hutan, tetapi Cuma sayup-sayup. Suara yang paling nyata dari telaga hanya desiran angin di atasnya. Atau, bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau, sama sekali lenggang angin istirahat bersama terlelapnya setiap hewan dan manusia.
Telaga itu begitu tenang, Cuma ada riak-riak saja. Permukaannya bening membuat langit dan seisi alam di sekitarnya dapat berkaca.

Telaga itu dimana? Di buku-buku dongeng para peri tempat putri hutan mengaso bersama kupu-kupu dan kelinci atau di antara legenda ujung pelangi tempat para bidadari turun mandi. Atau di legenda pewayangan tempat para tokoh memulai tapa brata?

Telaga itu dimanapun, ada sungguhan atau pun tidak ada, sering menjadi demikian nyata dalam bayangan imajinatif manusia. Karena ketersembunyainnya, kesahajaan dan ketenangannya. Tentu saja, telaga adalah yang dicari oleh pengelana yang letih. Yang terletak jauh di balik hutan. Jauh di balik bumi. Jauh di balik hati.

Telaga, Siapakah? Jika anda sedag lelah, telaga menjanjikan tempat istirahat, jika anda sedang haus didera terik, telaga adalah kesejukan air dan semilir angin, dan jika tengah terasa hampa, telaga adalah cermin tempat di temukannya kembali keindahan makna-makna. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup dengan dirinya sendiri. Ketika anda sedang kehilangan oriebtasi dan sepi di tengah keramaian.

Personifikasi telaga, bisa bermacam-macam, bisa orangtua, pasangan hidup atau sahabat. Sebagian adalah tamsil yang nyata tentang telaga, sebagian lagi dari mereka juga adalah orang-orang yang menuntut agar telaga terpersonifikasikan senyata-nyata nya.

Berbagai konstruksi nilai adat hingga cerita kartun mendukung tuntutan bahwa seorang gadis, sebagai perempuan harus dihiasi rasa malu sedemikian rupa sehingga dia merasa jauh lebih aman dan benar menyelinap di balik tembok daripada berdiri di depan mendiskusikan ilmu. Seorang gadis yang perempuan haruslah menjadi telaga di tengah hutan, yang tidak terusik oleh siapapun, tersembunyi, dicari dan sejuk dihampiri.

Seorang gadis, karena seperti semua manusia, telah menerima tiupan ruh secara kodratimemang harus menjadi pewaris kebeningan hati. Dia harus menyederhanakan puluhan kalimat menjadi satu dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, dan membagikannya seperti segelas sirup dingin kepada yang dahaga. Dia harus menjadi sumber ketenangan karna Pada wanita diamanatkan cinta, yang tulus, yang memberi tanpa pamrih. Yang tidak mengambil kecuali ala kadarnya, yang tenang menenangkan. Seperti telaga.

Namun, ketelagaan manusia tentu tidak ada di balik bajunya, ketelagaan seorang manusia ada di balik hatinya. Dan, betapa kecilnya telaga itu. Ia dapat saja kering ketika kemarau panjang mendera dan sebagian telaga pun melepaskan airnya ke laut.
Karnanya, biarkan saja gadis itu kini lelah menjadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itu yang lebih penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan air sirup, tetapi juga berhak meminta sirup. Selain itu, menjadi telaga bukan akhir dari sebuah proses menjadi.

Samudra itu luas, kandungannya banyak. Manusia-manusia mencari ikan di dalamnya, berlayar di keluasannya, mencari mutiara di kedalaman samudranya, mengebor minyak bumi di lepas pantainya, dan membangun kota-kota pelabuhan di tepinya. Para penemu benua baru mengalami proses pematangan mental terpenting di dalam hidupnya ketika mengarungi keluasannya.

Memang, samudra tidak setenang, sejernih dan semenawan telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang terperangah atau bahkan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi, kapal-kapal kecil di tengah samudra tinggal menunggu kehancuran. Jika badai raksasa bergulung sampai pantai, bahkan kota-kota di pinggirnya pun bisa hilang dalam sekajab. Namun, telaga juga bisa kering dan penduduk di sekitarnya sakit mati kehausan kelaparan.

Jika telaga ada di balik hati, samudra kemanusiam tampaknya susah untuk di tunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasan dan kedalamannya. Seorang yg ikhlas menemukan samudra di ujung amal kesehariannya yang diniatkan tulus karena Allah. Namun, seorang perindu Tuhan dapat juga menemukan samudranya bersamaan dengan kehadiran seorang yang ikhlas menerimanya.

Samudra itu muncul bersama kehadiran seorang, ibu, perempuan, lelaki bahkan anak usia balita. Karenanya, samudra kemanusian amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudra kemanusiaan adalah allah sendiri.

Menyamudra, adalah proses tanpa akhir karena khirnya adalah itu sendiri. Menyamudera juga adalah proses yang lebih jujur sekaligus dinamis dan menantang daripada menjadi telaga. Karena ketika itu, manusia tidak lagi sedang bersolek, tetapi sedang berjalan menuju-NYA.

( Miranda Risang Ayu )

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Site Info

Text

Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN SKA Komitmen Berjuang dan Melayani Copyright © 2009 Community is Designed by Bie