14 Desember 2009

virus itu bernama "korupsi"

Bagaimanapun juga Indonesia adalah negara kita, tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Oleh karena itu perlu kita ketahui bersama, dan sejenak kita menengok dari masa ke masa bahwa sudah berganti-ganti pemerintahan, korupsi tak juga berkurang di negeri ini.
Karena itu Prof Achmad Ali mengusulkan hukuman potong tangan bagi para koruptor.
Kenapa tidak dicoba?
Korupsi, menurut World Bank (1997), adalah menggunakan kewenangan publik untuk
mendapatkan keuntungan atau manfaat individu. Ada pula yang menyebut korupsi
adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Definisi lain, korupsi adalah
mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang
diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya
dirinya sendiri. Korupsi juga berarti tingkah laku yang menyimpang dari
tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan
berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok
sendiri.

Menurut bapak sosiologi Islam, Ibnu Khaldun (1332-1406), sebab utama korupsi
adalah nafsu untuk hidup mewah dari para pemegang kekuasaan. Nafsu semacam itu
ada di dalam diri setiap manusia. Yang belum tentu dimiliki manusia adalah
kekuasaan dan kemampuan untuk mengendalikannya. Di negeri ini, upaya
mengendalikan atau memberantas korupsi sudah dilakukan sedemikian rupa.
Hasilnya, korupsi tetap menjadi penyakit yang seolah tak tersembuhkan.

Masa Pemerintahan Soekarno (1945-1967)

Kini banyak orang mengira korupsi hanya berkembang di masa pemerintahan
Soeharto. Padahal hal itu sudah dirintis di masa pemerintahan Presiden RI
pertama, Ir Soekarno. Dan salah satu pelaku utamanya adalah militer. Di masa
pemerintahannya Soekarno pernah melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing melalui suatu Undang-undang (UU). Tetapi sebelum UU tersebut diberlakukan
(1958), pihak militer (AD) telah melakukan aksi sepihak dan merebut
perusahaan-perusahaan asing itu. Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jenderal AH
Nasution (KSAD pada saat itu) mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan
Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan yang
diambil alih tersebut di bawah pengawasan militer.

Pemerintah juga menerapkan kebijakan Politik Benteng dengan memberikan bantuan
kredit dan fasilitas kepada pengusaha-pengusaha pribumi. Tapi program ini tidak
melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh, justru menumbuhkan praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi
hanyalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan
politik yang dominan.

Pemerintahan Demokrasi Terpimpin gagal mengatasi disintegrasi administrasi
kenegaraan. Perekonomian tetap tergantung pada birokrasi partai-partai politik
dan militer. Aparat negara tak bekerja dengan baik dan korupsi semakin
merajalela.

Masa Pemerintahan Soeharto (1965-1998)

Pemerintah menggunakan pendekatan ‘pembangunan’ di sektor ekonomi untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di masa Orde Lama pimpinan Soekarno.
Pertumbuhan ekonomi menjadi target utama, dengan terus mengontrol kekuasaan
politik agar dapat menjalankan program pembangunan. Persoalan kebocoran atau
korupsi menjadi persoalan nomor dua.

Pemerintahan ini diwarnai oleh tiga fenomena, yakni: kerjasama antara pimpinan
militer dengan pengusaha keturunan Cina, kompetisi antara pengusaha pribumi
dengan pengusaha keturunan Cina, dan pengaruh perusahaan-perusahaan negara yang
dikontrol oleh militer melawan teknokrat yang mendukung liberalisasi dan
intervensi Barat.

Pertamina yang merupakan mesin utama pendukung kekuasaan, menjadi sarang
korupsi, patronase, dan penyedotan sumber dana sehingga BUMN ini sempat ambruk
pada tahun 1975-1976. Di bawah pimpinan Ibnu Sutowo, operasi Pertamina tertutup
bagi publik dan laporan tahunan keuangannya tidak pernah diumumkan. Kepentingan
Soeharto dan tentara sangat besar terhadap Pertamina.

Pada bulan Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa Indonesia turun ke jalan
untuk memprotes korupsi yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan. Presiden
Soeharto pada saat itu segera mengumumkan pembentukan Komisi IV, Mohammad Hatta
ditunjuk sebagai penasihat presiden untuk tersebut.

Diterapkannya perangkat hukum (UU No 3 tahun 1971) tentang pemberantasan
korupsi, tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Meskipun sistem politik
Indonesia mengenal lembaga kontrol pemerintahan, seperti DPR, BPK, ataupun
Kejaksaan Agung dan Badan Penertiban Aparatur Negara, tetapi lembaga-lembaga
tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Tahun 1990 Jendral M Yusuf sebagai Ketua BPK menyerahkan hasil pemeriksaan
tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada ketua DPR. Dalam acara
tersebut M Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya menemukan banyak
penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemakaian dana-dana
pembangunan.

Begitu sektor minyak dan gas meredup, awal tahun 1980-an Indonesia berpaling
pada kehutanan sehingga muncul istilah ‘Green Gold’ atau emas hijau. Ekspor
hasil hutan menjadi penghasil devisa nomor dua setelah minyak dan gas bumi. Dua
dari lima perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) swasta terbesar
menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pada keluarga Soeharto, yaitu
Kelompok Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan.

Tahun 1997 muncul krisis ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
sarat dengan KKN serta ketergantungan pada modal asing dan utang luar negeri.
Orde Baru yang dikomandani Jenderal (Purn) Soeharto akhirnya ambruk dengan
meninggalkan sistem koruptif yang kronis.

Masa Habibie (Mei 1998-September 1999)

Salah satu agenda kaum reformis yang menumbangkan Orde Baru adalah pemberantasan
KKN. Pemberantasan ini bermakna mengusut praktik KKN yang telah dilakukan oleh
Soeharto dan kroninya serta menciptakan pemerintahan yang bersih.

Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan korupsi dan
menciptakan aparat pemerintahan yang bersih segera dibuat oleh Pemerintahan
Habibie. Misalnya Tap MPR No XI/MPR/1998 dan UU No 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi), Inpres No 30 tahun 1998
tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat, serta gagasan pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun Pemerintahan Habibie tidak berhasil menyeret
Soeharto ke pengadilan, justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut lewat
Jaksa Agung Andi M Ghalib yang justru diduga kuat masyarakat sebagai koruptor.

Masa Abdurrahman Wahid (September 1999-Juli 2001)

Segera setelah dilantik menjadi Presiden RI, Abdurrahman Wahid melalui Keppres
No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 membentuk Lembaga Ombudsman yang
mempunyai wewenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas
laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara.

Berdasarkan kesepakatan Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah RI dan IMF
serta pasal 27 UU No 31 tahun 1999 maka Kejaksaan Agung membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim Gabungan ini tidak berfungsi
secara efektif karena kedudukannya di bawah Jaksa Agung dan tidak diberikan
kewenangan yang luas dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus-kasus
korupsi.

Berdasarkan pasal 10 UU No 28 Tahun 1999, Presiden membentuk Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Muncul kontroversi karena proses seleksi
anggotanya tidak transparan dan mengabaikan partisipasi masyarakat, sehingga
muncul kesan adanya kepentingan parpol atau kelompok.

Pada tanggal 21 Mei 2001 pemerintah secara resmi mengajukan rancangan
undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat usulan penerapan
pembuktian terbalik pada pengungkapan kasus korupsi. Pembuktian terbalik perlu
diterapkan karena sistem pembuktian biasa yang selama ini dirasakan tak efektif
dan sangat memberatkan aparatur penyidik dalam melakukan penyidikan.

Pemerintah juga menyiapkan pembentukan Komisi Antikorupsi di bawah koordinasi
Dirjen Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakimanan dan HAM. Komisi ini
diharapkan terbentuk pada bulan Agustus 2001 (berdasarkan UU No 31 tahun 1999).
Sayang, Pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah keburu jatuh, lagi-lagi karena
tuduhan perilaku korupsi, seperti Buloggate dan Brunaigate.

Syari’at Islam

Puluhan tahun perilaku koruptif di negeri ini tak tersentuh oleh hukum. Menurut
Romli Atmasasmita, Ketua Tim Persiapan Komisi Antikorupsi, sebenarnya ada satu
solusi yang bisa membuat koruptor jera, yaitu hukuman mati.

Wacana hukuman mati telah disepakati pemerintah dan DPR dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (1999). Romli yang juga Dirjen Hukum dan
Perundang-undangan (Kumdang) Departemen Kehakiman pernah menyatakan bahwa
hukuman mati bisa diterapkan asal tidak sembarangan. “Hukuman mati bisa
dijatuhkan pada pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan pengulangan
perbuatan (residiv), serta pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi pada saat
bencana alam nasional, negara dalam keadaan bahaya, dan negara sedang krisis
moneter dan ekonomi,” ujarnya. Namun UU ini sulit menjadi efektif karena banyak
ditentang oleh praktisi dan ahli hukum dengan mengatasnamakan HAM.

Menanggapi hal itu pengamat hukum dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar,
Prof Achmad Ali memandang, hukuman yang berat merupakan salah satu faktor
penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam sebuah seminar di Makassar,
nominator anggota Komnas HAM ini sempat melontarkan pendapat bahwa koruptor
perlu dipotong tangannya atau dihukum mati. “Hukuman yang maksimal itu
dimungkinkan oleh undang-undang yang ada. Karena salah satu fungsi hukum memang
untuk menakut-nakuti warga masyarakat lain, sehingga mereka tidak ikut-ikutan
korupsi,” alasannya.

Achmad Ali lantas menganalogikan dengan pelaksanaan hukum potong tangan dalam
ajaran Islam. Dan terbukti, negara seperti Arab Saudi dikenal sebagai negara
yang bersih dari korupsi karena menerapkan syari’at Islam. “Hukuman potong
tangan itu tidak untuk semua pencuri, tetapi hanya untuk ‘pencuri kelas kakap’
yang namanya koruptor,” tegasnya.

Bisakah hukum Islam diterapkan di Indonesia? Achmad Ali menjawab, “Selama hukum
Islam secara konstitusional belum diberlakukan, tentu kita belum dapat
menerapkan hukuman potong tangan. Kalau rakyat memang menghendaki dan wakil
rakyat bisa memperjuangkannya secara konstitusional, kenapa tidak? Sekarang yang
penting, hukumlah seberat-beratnya!” (pam)

Sumber:
http://www.hidayatullah.com/2001/08/ihwal2.shtml
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/10/0135.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Site Info

Text

Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN SKA Komitmen Berjuang dan Melayani Copyright © 2009 Community is Designed by Bie